Belajar dari Sepasang Tua

Bagaimana mereka melalui hari-hari yang terik dengan senyum senantiasa?
Bagaimana mereka bertahan hingga menjelang pukul delapan malam menunggu porsi terakhir terjual?
Bagaimana mereka dapat lebih saling memerhatikan satu sama lain di usia yang tak lagi muda?

Di warungnya yang terletak di pinggir jalan raya utama, sepasang tua menjajakan dagangannya. Es buah seharga tiga ribu, dan gado-gado seharga tujuh ribu. Terbatas dan sederhana. Sesederhana warung mereka yang berukuran dua kali dua meter, disokong bambu yang menancap seadanya di atas tanah, seng beberapa lembar sebagai atap, dan tiga buah bangku.

Namun di bilik kecil inilah datangnya sumber penghasilan utama sepasang kakek dan nenek selama kurang lebih sebelas tahun. Dari pagi hingga menjelang malam. Di tempat yang sama, di samping Masjid ITC Kampung Pare. Bilik warungnya nyaris tidak kelihatan kecuali jika saya berjalan di trotoar.

Saban siang hari, saya selalu melewati bilik mereka untuk shalat duhur. Di sini, siang selalu datang dengan panas yang garang. Sepulang dari masjid, awalnya saya hanya niat melepasa dahaga dengan mencoba satu porsi potongan dadu buah yang dicampur air gula itu. Dan, rasanya memang benar-benar menyegarkan. Disertai sensasi menyegarkan rasa sejuk di kerongkongan oleh es yang mencair bersamaan.

Akhirnya, saya memutuskan rutin menyuplai serat buah di kios mereka. Hingga hari ini, saya tidak pernah lepas dari es buah itu. Setiap siang. Bayar lunas atau berhutang (hehe). Namun bukan itu perkara utamanya, saya senang keduanya, secara pribadi dan karakter.

‘iya tidak apa-apa, kan tiap hari lewat sini,’ begitu selalu katanya jika penyakit pikun saya untuk bawa dompet sedang kambuh.

‘mo besok juga boleh’ jelas nenek sambil senyum yang diaminkan kakek dengan senyum juga.

Mereka senantiasa menyapa dan melepaskan senyum kepada siapa saja. Mereka ringan untuk memulai komunikasi kapan saja. Sebaliknya, saya menyaksikan pelanggan yang datang juga membalasnya dengan ramah disertai percakapan ringan yang setiap manusia pasti membutuhkannya.

Sedikitnya, itulah yang menyebabkan saya menjadi cukup akrab dengan mereka berdua. Bahkan sejak kali pertama saya mampir ke sana. Faktor lain karena setiap waktu shalat tiba, saya lewat trotoar samping bilik si nenek untuk ke masjid.

Saya pernah melihat nenek di tidur di bangku karena lelah atau kepanasan, dan si kakek yang gantian jaga warung. Dan kakek tidak akan pernah membangunkan nenek, dia yang mengatasi semua. Mengerjakan apa saja. Setia membantu nenek dari pagi sampai beranjak pulang.

Atau ketika mereka saling bergantian shalat. Mereka akan saling bergantian. Dan, shalat di masjid adalah satu hal yang tidak pernah mereka tinggalkan. Saya termenung, dengan pelanggan yang itu-itu saja, dan jumlah pemasukan yang tidak stabil, mereka merasa masih harus banyak bersyukur atas nikmat-Nya.

‘minggu saya senin libur dulu ya, nduk,’ kata nenek suatu ketika. ‘nenek capek, mo istirahat dua hari ini.’ tambahnya.

Dengan usia mereka sekitar akhir puluhan, fisik yang terkuras membuat mereka harus absen selama dua atau tiga hari dalam periode waktu tertentu. Tapi yang saya banggakan dari beliau berdua adalah, ketika sedang di warung, mereka akan selalu terlihat cerah dan tersenyum meski sebenarnya sedang berusaha mati-matian untuk mencari sekeping dua keping perak rejeki.

Sering kali, mereka bertahan di bilik sepanjang sore menuju malam. Dagangan belum habis, es buah yang melumer dari tadi masih banyak, ketupat lontong tahu masih tersisa setengah. Saya tahu mereka benar-benar menginginkan istirahat, dan pulang. Dan saya juga cukup yakin tidak akan ada lagi yang berminat pada air gula dan rujak cingur di malam hari.

Kondisi seperti ini kadang berulang, dan mereka berdua selalu tabah. Sering saya bertemu kakek atau nenek di masjid shalat isya. Sebuah sinyal yang berarti: meski dagangan belum habis (tapi inilah rezeki hari ini), syukur harus selalu dipanjatkan.

Ini bukan masalah kenyamanan untuk bertahan di tempat makan yang itu-itu saja. Saya hanya ingin harga es buah setiap siang itu mengalir kepada orang yang senantiasa mensyukuri hidupnya. Saya tahu banyak penjaja jus buah dan sop buah yang menawarkan harga meriah dan murah di berbagai sudut Pare. Tapi saya memilih sepasang tua ini. Dengan harapan batin saya juga bisa kenyang.


3 thoughts on “Belajar dari Sepasang Tua

  1. mereka (mbak kakung dan mbak putri) mengingatkan lg, bukan tentang seberapa besar atau seberapa kecilnya rezeki, tapi pripun carane bersyukur ngeh .
    (ada blog nya kak fadli *readmore catatan lainnya goo..)

    Like

      1. kebatulan pak. lagi cari info tentang wisata sorowako pas baca-baca link mahasiswaunmmakassar ehhh baru sadar nama penulisnya ky saya kenal hehhe.. (sibuk bener!!)

        Like

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.