Kikigaki: Literasi Aktif untuk Menjaga Alam dan Tradisi

KIKIGAKI (1)
Proses wawancara Kikigaki bersama meijin. unesco-school.mext.go.jp

Meijin saya keren” Finna

Kegiatan wawancaranya dengan narasumber berusia senior atau meijin meninggalkan kesan begitu mendalam. Finna yang merupakan pelajar SMA Kornita-IPB spontan bangga mengucapkan itu ketika menyajikan tulisannya di forum seminar Kikigaki 2013.

Finna menemukan paradoks. Meskipun penghasilan sang meijin minim dan tinggal sebatang kara, namun sikap hidup berkata sebaliknya. Justru kondisi itu membuat sang meijin jadi pribadi yang sangat bermartabat karena tetap berdikari dengan usahanya sendiri tanpa meminta-minta.

Keikutsertaan Finna dan rekan-rekannya dalam proyek Kikigaki (‘Mendengar’ dan ‘Menulis’) akhirnya mengenalkan mereka pada figur-figur teladan sesungguhnya. Di antara sosok itu ada yang berprofesi sebagai pengrajin bambu, pembuat sapu awis, pembudidaya bakau, pemulia tanaman obat, sampai penenun tradisional.

Kikigaki adalah metode pembelajaran bagi generasi muda tentang pengetahuan dan kearifan generasi tua dengan cara menggali dan mendokumentasikan perjalanan hidup seorang narasumber sepuh (meijin) melalui dialog secara tatap muka langsung.” | Nahoko Yoshino

Kikigaki ‘memaksa’ Finna dkk terjun ke lapangan. Mendatangi ruang hidup sang meijin untuk melihatnya bekerja, live-in tiga sampai empat hari, sembari melakukan wawancara. Pengalaman yang sangat jarang mereka temui itu memberi peluang terjalinnya komunikasi aktif dengan generasi lebih senior.

Dalam proses Kikigaki, sebagian besar peserta akhirnya “menemukan dan menyadari ada nilai yang berharga dan penting di balik hal yang kelihatannya biasa saja atau tidak diperhatikan selama ini

Akibatnya mereka jadi mengenal alam dengan cara pandang dan wawasan baru. Desa dan alam di sekitarnya lebih dari sekadar tempat wisata dan rekreasi. Tapi sebagai tempat hidup bagi manusia yang hidup di dalamnya. Ruang tempat mencari penghidupan, dan terlebih sebagai lanskap yang dijaga sang meijin demi keseimbangan kehidupan mereka dengan ekosistem.

saya lebih bisa merasakan perjuangan seorang meijin yang sudah tua untuk terus berusaha melestarikan lingkungan, terutama di daerah pesisir pantai. Saya juga lebih menghargai ciptaan Tuhan. Saya menjadi sangat mengerti betapa pentingnya menjaga kelestarian lingkungan.Reza Anugrah, SMAN 1 Banawa, Donggala (Peserta Kikigaki 2015)

Perjalanan Finna dkk menemukan ‘nilai baru’ bukan perkara instan dan mudah. Terlebih sebagian besar peserta Kikigaki belum pernah berhubungan langsung dengan kehidupan yang dialamai meijin mereka. Mereka harus melewati seluruh rangkaian Kikigaki.  

Keseluruhan tahapan menguras waktu, pikiran, dan tenaga. Melibatkan semua panca indra peserta. Telinga mereka mendengar penuturan langsung meijin. Mata melihat alam sebagai tempat hidup dan menyaksikan keahlian turun temurun. Hati merasakan empati. Kepala memproses semua narasi yang disampaikan meijin. Tangan bekerja mengetik transkripsi wawancara. Kemudian akhirnya mereka berlomba menulis berbuat yang terbaik.

Kikigaki di Jepang

Di negara asalnya, program Kikigaki Koshien yang dimulai 2002 dirancang pemerintah Jepang dengan tujuan mendokumentasi pengetahuan, tradisi, dan nilai-nilai yang turun temurun diwariskan pada generasi penerus. Para pelanjut tradisi itu umurnya sudah lebih 50 tahun bahkan 80 tahun. Sementara pemerintah Jepang sangat menginginkan kearifan lokal terjaga dengan baik. Dalam Kikigaki, mereka diistilahkan dengan ‘meijin’ atau narasumber senior.

Pada sisi lain mereka juga hendak menjawab tantangan yang lebih genting dari itu: jumlah petani berkurang drastis semenjak industrialisasi Jepang di tahun 60-an. Populasi desa semakin menurun karena generasi baru memilih ke kota. Lalu para pelanjut tadi pun sudah semakin tua. Kearifan lokal akan terputus dan keterampilan akan hilang bila   tidak ada upaya untuk melestarikannya.

Satu langkah komunikasi antar generasi harus segera dimulai. Lantas inisiatif itu muncul, merekam kearifan lokal lewat tangan-tangan generasi muda sendiri: Kikigaki Koshien.

Tiap tahun, dipilih sekitar 100 orang yang akan mendapatkan penghargaan dari Kementerian Kehutanan Perkebunan dan Perikanan Jepang. Kementerian Pendidikan turut menyeleksi pula peserta Kikigaki Koshien dari berbagai SMA di seluruh Jepang. Mereka yang terpilih akan mengikuti workshop penulisan. Setelah itu barulah melakukan kegiatan inti: mewawancara meijin.

Informasi meijin tidak langsung diperoleh begitu mereka menyorongkan alat perekam. Peserta harus segera beradaptasi membangun sikap yang tepat agar meijin mau bercerita banyak. Pengetahuan Kikigaki memang bukan berupa laporan ilmiah, tapi dari pengetahuan para meijin selama puluhan tahun berinteraksi dengan alam. Perbincangan antargenerasi ini bisa memunculkan hubungan dan sikap saling memahami yang lebih baik bagi kedua pihak.

Hingga 2009, penyelenggara fokus memilih kalangan Master of Forests. Dalam kata lain, meijin merupakan tokoh yang hampir sepanjang hidupnya erat dengan pemanfaatan sumber daya hutan dan lahan. Baru pada tahun 2010, penyelenggara juga memilih Master of Sea or River sebagai meijin dalam Kikigaki.  

Program ini masih berlanjut hingga sekarang. Sudah lebih dari 1500 meijin yang direkam dan ditulis perjalanan hidupnya oleh anak-anak SMA. Secara berkala antologi tulisan Kikigaki diterbitkan lewat laman yang bisa diakses siapa saja.

Kikigaki juga menjadi contoh program mandiri yang dilakukan kerja sama masyarakat dan organisasi non pemerintah. Sejak 2003, pelaksanaan diserahkan ke jaringan LSM yang fokus pada pelestarian hutan dan lingkungan. Malah beberapa tahun kemudian, alumni Kikigaki membentuk LSM sendiri yang dinamai Kyozon no Mori Network atau ‘Network for Coexistence with Nature’. Organisasi ini yang kemudian menjadi penyelenggara Kikigaki hingga sekarang.

Kemewahan lain Kikigaki ialah mampu menciptakan ruang nyata bagi dua kelompok umur generasi yang usianya terpaut sangat jauh -sekitar 30 tahun bahkan lebih- namun dengan atmosfir yang sangat positif.

Pada satu sisi, seorang anak SMA siap bertanya dan mendengarkan semua jawaban tanpa judgement, ini baik dan itu buruk. Di sisi lain, meijin dengan riwayat pengalaman hidup yang panjang dan kebijaksaan khas orang tua, merasa sudah waktunya bercerita dan menceritakan segala hal yang ingin mereka ketahui.

Mendengar dan Menulis  

Persiapan Kikigaki dimulai dengan riset awal dan membuat panduan pertanyaan. Selanjutnya tahap adaptasi dan membangun kedekatan bersama meijin. Bila semua berjalan lancar, langkah selanjutnya adalah mendengar.

Peserta Kikigaki menilai mendengar merupakan proses paling inti Kikigaki. Proses mendengar terjadi pertama kali saat wawancara. Saat itu peserta sudah mendapat gambaran awal keseluruhan kisah yang disampaikan lisan oleh meijin.

Tahapan mendengar berikutnya dilakukan lebih intens. Peserta memutar ulang rekaman untuk membuat transkripsi wawancara (verbatim). Rekaman didengarkan berulang-ulang hingga tidak menemukan lagi pembicaraan yang luput. Mereka harus memastikan semua kata, frasa, dan istilah lokal dari narasumber terketik rapi dan jelas transkripsi. Pada prinsipnya, siswa tidak diperkenankan memasukkan unsur apapun selain yang telah disampaikan, termasuk larangan memberi penafsiran pribadi atas kalimat meijin.

Fase mengulang audio wawancara akan menyadarkan hal-hal yang luput dari pendengaran pertama. Dalam sekali dengar, peserta mungkin belum menangkap maksud yang diutarakan. Kejutan tersimpan setelah rekaman diulang terus menerus.

Setelah rampung, transkripsi diolah kembali. Dirapikan dan disusun agar luarannya mudah diolah jadi naskah tulisan yang mengalir sistematis, siap dibaca setiap orang. Bagian ini mensyaratkan peserta membaca keseluruhan naskah berkali-kali. Tujuannya agar peserta dapat menemukan kesimpulan lugas dari kalimat tutur narasumber. Pada tempo yang bersamaan, peserta juga mulai mencari dan mengklasifikasi topik –topik utama dan bagian pendukungnya yang berserakan di tiap-tiap bagian.

Sejumlah topik utama yang dicatat dengan sendirinya menjadi bahan awal anatomi dan kerangka tulisan yang koheren. Kerangka tulisan misalnya terdiri dari beberapa sub judul atau topik bahasan yang mengikuti struktur logis. Dibuat seperti itu agar pembaca tidak kebingungan mengikuti jalannya cerita dari awal. Layaknya seperti mendengar meijin secara langsung.

Potongan pembicaraan, termasuk yang tidak penting dipangkas demi mengefektifkan kalimat. Tapi tidak ditambah-tambah satu kata pun. Jawaban atau potongan pembicaraan meijin yang sering muncul dalam merespon sejumlah pertanyaan dijadikan satu. Tujuannya mencegah repetisi yang tidak perlu. Sampai di sini, proses Kikigaki sudah menyerap banyak waktu, tenaga, dan pikiran peserta.

Kunci Literasi Aktif dalam Kikigaki

selain pelajaran hidup dari para meijin, mereka juga mendapat ilmu lain yang akan bermanfaat untuk pengembangan potensi diri bagi masa depan. Mereka belajar teknik wawancara dan menuliskan hasilnya. Mereka juga belajar tentang cara menyajikan hasil kerja mereka, baik dalam bentuk poster maupun secara lisan.”  Dr.Ir. Soeryo Adiwibowo. Dosen Fakultas Ekologi Manusia, IPB.

Rangkaian Kikigaki secara umum meliputi dua tahap mendengar dan dua tahap menulis. Pertama mendengar meijin secara langsung, kedua mendengar rekaman wawancara, ketiga menulis verbatim, dan terakhir menyusun laporan Kikigaki. Dalam tiap fase itu, menempel kuat unsur utama literasi yakni understanding meaning atau memahami makna. Tulisan Kikigaki tidak mungkin ada bila peserta gagal menangkap pesan ‘suara’ dan ‘teks’.

James M. Deem dalam Transcribing Speech: An Initial Step in Basic Writing (1985) sejak awal mengungkap hal kunci bahwa keterampilan mendasar yang kerap dihadapi siswa jenjang atas ialah ketidakmampuan menuangkan pemikiran sendiri ke dalam tulisan. Kelemahan tersebut menjadi penyebab utama mengapa mereka begitu lemah dalam menulis.

Solusi atas masalah tersebut sudah disinggung James Moffett jauh sebelumnya. Merujuk Integrity and The Teaching of Writing (1979) bahwa salah satu cara mengatasinya adalah dengan kegiatan transkripsi (alih suara ke narasi teks). Menurutnya, transkripsi berfungsi sebagai landasan keterampilan menulis.

Sebagian besar siswa lemah dalam menulis sebab tidak tau bagaimana metode menuangkan pikiran ke dalam tulisan. Oleh karena itu, latihan mengalihkan bentuk suara ke teks (transkripsi) menjadi satu model dalam mengembangkan kemampuan literasi siswa.

Lewat transkripsi, siswa belajar memahami maksud, gagasan, dan pesan dari perkataan meijin. Tahapan mengalihkan sound to text itu bisa jadi ajang latihan siswa memahami pikirannya masing-masing.

Dengan kata lain, belajar memahami kata-kata orang lain dari hasil rekaman lalu menyulapnya jadi tulisan padu merupakan langkah awal kesuksesan proses menulis dan menyusun gagasan pribadi.

Sejumlah praktik dan studi tentang aktivitas transkripsi pada siswa sejak awal sudah mengindikasikan dampak positif.  Deem dan Engel (1988) dalam Jurnal Basic Writing menyebutkan salah satu model kegiatan transkripsi yang dapat digunakan untuk meningkatkan level literasi siswa adalah The Newsletter.

Rancangan kegiatannya memiliki banyak kesamaan dengan Kikigaki. Melalui tema pertanyaan yang disusun bersama, siswa diberi tugas melakukan wawancara terekam pada fasilitator/guru. Setelah selesai, keseluruhan rekaman ditransfer ke bentuk verbatim. Hasilnya dikonfirmasi ke pihak narasumber untuk memastikan semua informasi dan penulisan. Kemudian merampungkan semua tulisan untuk dikompilasi menjadi produk akhir berupa terbitan berkala.

Alasan keberhasilan Kikigaki sebenarnya bisa ditinjau dari meningkatnya motivasi siswa. Mereka mampu fokus mendengar dan membaca berulang-ulang. Sebabnya sederhana, Kikigaki memaksa siswa memiliki tujuan menulis yaitu menghasilkan tulisan yang  memunculkan gagasan yang disampaikan narasumber. Dorongan itu semakin menguat karena siswa harus memproduksi tulisan terbaik dari transkripsi tersebut.

IMG_2109
Peserta Seminar Kikigaki 2018 (disdik.palangkaraya.go.id)

Menjaga Tradisi dengan Tulisan Kikigaki.

Kesetiaan beliau (meijin) terhadap profesinya sebagai pengrajin sapu awis juga membuat saya terkesan, karena selain untuk mendapatkan penghasilan, juga demi mempertahankan keberadaan sapi awis yang sudah jarang ditemui saat ini” Futri Restriana Zahra, SMA Kornita-IPB, Bogor (Peserta Kikigaki 2015)

Indonesia merupakan negara dengan riwayat panjang tradisi yang masih bertahan hingga kini. Pada masing-masing tempat, tradisi dan kearifan lokal menyimpan rahasia tersendiri bagaimana hidup berdampingan dengan alam. Negara ini sedang mengalami masalah yang mirip dengan Jepang. Upaya yang bertujuan melestarikan alam dan tradisi penting menjadi proritas pemerintah.

Beberapa peneliti menunjukkan bahwa sejumlah tempat di Indonesia memiliki tradisi lokal yang memainkan peran begitu penting dalam melestarikan lingkungan dengan efektif. Menggali dan mengangkat kearifan di tiap tempat berarti menemukan seribu satu cerita menarik untuk didengarkan dan dibaca oleh generasi pelanjut. Sehingga semakin banyak orang sadar lingkungan, terutama anak-anak muda.

Tradisi yang terserak di pelosok nusantara tersebut begitu bernilai dalam memperkaya khazanah lokal kebudayaaan bangsa. Jika terpublikasi dengan baik, kekayaan budaya serta nilai akan jadi referensi dan legacy tak ternilai bagi generasi yang lahir berikutnya.

Produk Kikigaki barangkali mampu menjawab pertanyaan kita selama ini. Metode dan strategi macam apa macam apa yang bisa menjembatani pesan-pesan generasi tua ke generasi muda? Strategi seperti apa yang harus dilakukan agar praktik budaya dan kearifan lokal yang terserak bisa diketahui oleh generasi penerus?

Kikigaki dibawa ke Indonesia sembilan tahun lalu. Penyelenggaraan tahun 2012 baru diikuti SMA Kornita-IPB (Bogor) dan sejumlah SMA di Palu, Sigi dan Donggala (Sulawesi Tengah). Pada 2018 beberapa SMA di Gorontalo dan Palangkaraya menyusul. Bahkan memasuki 2019, IPB turut mengenalkan Kikigaki bagi mahasiswa tahun pertama mereka sebagai ajang pendidikan karakter dan pendidikan literasi.

Kikigaki seharusnya bisa diandalkan menjadi penyokong Adiwiyata dan program serupa lainnya yang sudah berjalan. Pengajaran karakter dan sikap mencintai lingkungan tidak cukup hanya rutinitas merawat tanaman yang tersedia di koridor dan halaman sekolah.

Saatnya mengajak siswa terjun langsung ke lapangan. Memberikan pengalaman literatif yang jauh lebih bermakna. Menyaksikan langsung bagaimana manusia berinteraksi dengan alam. Menyaksikan manfaat alam yang luar biasa manakala dijaga, dan sebaliknya menjadi petaka bila manusia tidak peka. Lihat, dengar, dan tuliskan!

#SahabatKeluarga #LiterasiKeluarga

 

 Referensi Tulisan:

  1. Roem Topatimasang (ed). Kikigaki: Mendengar dan Menulis – Menjembatani Manusia, Alam, dan Budaya Antar Generasi. Kerjasama penerbitan: Kyouzon no-Mori Network, Perkumpulan Pedati, dan INSISTPress. Yogyakarta. 2016
  2. T.D. Effendi. Local Wisdom-based Environmental Education through Kikigaki Method: Japan Experience and Lesson for Indonesia. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science. 2019.
  3. Yasuhiro Matsumoto. Masters of Forests: Their Wisdom and Arts.
  4. James M. Deem & Sandra A. Engel. Developing Literacy Through Transcription. Journal of Basic Writing 7 No. 2. 1988
  5. International Partnership for the Satoyama Initiative (IPSI). Listening and Documenting: “Kikigaki” A Tool for Sharing Wisdom for Sustainable Societies. 2012.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.