Herb Feith

Menelusuri biografi Herb Feith, berarti juga meneropong hubungan panjang Australia dan Indonesia. Semua bermula dari ketertarikannya pada Asia ketika kuliah. Kala itu Belanda mulai meninggalkan Indonesia yang baru merdeka. Tak pelak terjadi kekosongan birokrasi dan profesi teknis di kantor-kantor bekas pemerintahan Hindia Belanda.

Sebelum berangkat, ia menghabiskan liburan musim panas bersama orang tuanya. Di pantai, ia terbawa lamunan pada negeri asing yang hendak didatanginya. Namun buku ditangannya seakan tak habis memancarkan pesonanya. Penulisnya membuat Herb begitu kagum. Bacaan itu berjudul Out of Exile yang ditulis Sutan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia.

Herb terjun langsung sebagai tenaga bantu pertama di Kempen (Kementerian Penerangan) selama dua tahun yang dimulai Juni 1951. Laporan dan cerita-ceritanya menjadi tonggak lahir dan berkembangnya VGS (Volunteer Graduate Scheme) di Australia.

Seturut visi Colombo Plan yang diprakarsai tahun 1951, VGS dipromosikan dengan mengusung irisan semangat yang sama. Terlebih semenjak Indonesia mulai bergabung di tahun 1953. Rombongan sukarelawan lain pada gilirannya terus berdatangan di tahun-tahun berikutnya. Herb, kemudian aktif menjadi mentor sekaligus model bagi relawan Australia yang akan bekerja di Indonesia. Sejak itulah ia mulai memupuk kecintaan pada negeri yang semula asing baginya.

Tak dinyana, Indonesia akhirnya menjadi rumah kedua bagi Herb. Di mana lebih dari separuh hidup dan karir keilmuannya ia habiskan dan abdikan. Hingga akhir hidupnya, ia adalah ilmuwan politik sekaligus aktivis paling kritis menyuarakan perdamaian dan isu lingkungan.

****

Sebagai peneliti politik Indonesia, Herb bukan hanya punya jejaring dan wawasan luas. Tapi juga perasaan pada Indonesia yang sedemikian dalam. Di kalangan Indonesianis, Herb menjelma sosok selebritas. Hingga ia menyandang julukan ‘lebih Indonesia daripada orang Indonesia sendiri’.

Herb sendiri berpulang pada 2001. Selama masih hidup, sebenarnya ia sempat memulai penulisan otobiografi. Ditambah dua kali usaha yang sama juga pernah dilakukan peneliti lain (sekaligus muridnya). Namun semua kandas. Dorongan penulisan sosok Herb Feith menjadi begitu penting dan mendesak setelah ia pergi. Penulisnya, Jemma Purdey mendapat bahan dengan kuantitas luar biasa.

Perpustakaan Nasional Australia (NLA) menyimpan 28 kardus berjejeran di rak sepanjang 15 meter. Monash University Archives membekali Jemmar ‘harta karun’ Herb yang begitu melimpah. Tidak hanya dokumentasi tersebut menyimpan bahan penting tentang Herb. Namun juga sejarah dan lika-liku hubungan bilateral kedua negara.

Arthur Kleinman menyebut Herb sebagai anti-hero yang “mungkin tidak (bisa) mengubah dunia.” Tapi -mengutip surat Rex Mortimer, Indonesianis kebangsaan Amerika pada Herb- dunia juga ‘bukan ruang kosong sebelum kematian tiba.

Aktivis Intelektual

Herb memulai aktif mendengar dan terlibat dengan lingkaran pemerintahan Soekarno dan partai politik sepanjang kunjungannya pada 1963-1964. Hasilnya lahirlah artikel moncer berjudul ‘President Soekarno, the Army, and the Communist: The Triangle Changes Shape’.

Untuk memunculkan hipotesa itu, Herb tidak cukup bermodal koneksi luas di lapangan politik pemerintahan. Tapi harus meninggalkan kesan baik. Hal itu dimungkinkan sebab awal kedatangannya dahulu, Herb sempat menumpang dari satu rumah pejabat kementerian ke rumah yang lain. Maka ia punya sejumput privilege untuk kontak dengan banyak orang.

Dengan kemampuan “mendengar aktif”-nya yang begitu diakui sesama peneliti, Herb mampu melahirkan kemampuan menganalisis ‘menembus jauh ke dalam tatan sosial’. Itulah kelebihannya dibanding pengamat Indonesia lain saat itu.

Sewaktu berdinas ia mendapat tugas menjadi panitia KAA (Konferensi Asia Afrika) di Bandung. Ia berdiri di luar panggung, menyaksikan sosok lewat paruh baya berpidato dengan susah payah di hadapan banyak orang. Tidak lebih 5 menit. Tapi wajah itu menampakkan bulir-bulir keringat yang menetes. Rautnya sudah dimakan usia. Membuat Herb merasa kasihan, lalu ia pun menangis. Orang tua itu adalah Jawaharlal Nehru, pemimpin India.

Menerka situasi batin Herb saat itu, mungkin ia terenyuh. Atau barangkali karena seringnya ia melihat pemandangan serupa ketika keliling kampung. Menjauh dari rumahnya di Jakarta. Kota yang mulai menurut Herb, kehilangan semangat revolusinya. Digantikan penuhnya birokrasi tanpa efisiensi, hipokrisi, dan korupsi.

Pertengahan 70-an, Herb sedang berada dalam seremoni wisuda sebagai Ketua Jurusan Politik. Di tengah acara, ia menyerukan pada hadirin agar (setelah wisuda) mengikuti ajakannya berdemonstrasi turun ke jalan mendukung Vietnam Moratorium.

Ia juga berkali-kali terlibat membantu para tapol (tahanan politik) era Orde Baru untuk bisa melarikan diri ke Australia. Ada juga yang tokoh-tokoh muda Indonesia hari itu yang dibekali surat rekomendasi untuk belajar di kampus luar negeri agar terbebas dari kejaran Orde Baru. Herb melakukan itu semua, meski sadar akan konsekuensinya.

Satu dekade lebih semenjak ditahan tanpa melalui proses pengadilan, para tapol khatam sejumlah pengalaman buruk lebih dari yang bisa dijangkau nalar manusia (bisa jadi referensi: Catatan Sunyi Seorang Bisu, Pramoedya Ananta Toer).

Herb kemudian aktif menjalin kontak dan negosiasi dengan Amnesty International. Mendesak simpati internasional agar memaksa Soeharto secepat mungkin membebaskan tahanan politik. Tanpa itu, para tapol mungkin akan menanggungnya seumur hidup.

Merindukan Perdamaian

Mengawali 1972, Herb bergeser agak jauh dari perannya sebagai pengamat, analis politik yang tajam. Ia kemudian memulai perjalanan menemukan solusi-solusi perdamaian bagi negara-negara berkonflik.

Pertama-tama ia melakukan kunjungan ke Burma. Lalu ke Timor Timur, dan akhirnya Papua Barat (saat itu Irian Jaya). Namun pengalaman di negara pertama, seperti dikisahkan Jemma, Herb kesulitan dengan bahasa dan kompleksitas dalam memahami budaya.

Pada periode ini (di tahun 1975), Herb mengundurkan diri sebagai profesor di Monash dan kembali jadi peneliti biasa (reader). Setahun sebelumnya, terjadi peristiwa yang dinilai oleh banyak pengamat sebagai pemicu lahirnya sejumlah pemberontakan pada Orde Baru. Dikenal dengan Peristiwa Malari (Malapetaka Lima Januari) pada 15 Januari 1974. Sepanjang 1973 dan 1974 memang ditandai dengan peningkatan aksi mahasiswa Indonesia.

Memungkas tahun 1976, Herb melangkahkan kaki lebih jauh lagi dari tanah air. Ini tentu, untuk beberapa saat menjauhkannya beberapa saat dari tema seputaran Indonesia. Menuju Iran, selanjutnya ke Israel, India, kemudian Norwegia. Herb segera mendapati dirinya terjun pada gerakan anti-nuklir. Tahun berikutnya, ia sudah berada di tengah gelombang unjuk rasa menolak penambangan Uranium.

Semester pertama di tahun 1981, Herb mulai menyusun agenda globalnya. Masa itu ia curahkan waktunya di Yokohama untuk menyukseskan konferensi Asia Peace Research in The Global Context. Sebagai pencarian solusi-solusi damai di tingkat internasional.

Agenda ‘damai’ Herb dilanjutkan dengan terbang menuju New York, London, Amsterdam, Moskwa, kemudian berakhir di Praha. Di Moskwa, Herb bertemu sesama pengamat Indonesia, Arkhipov, yang ia pernah temui dekade lalu di ANU (Australian National University).

Rasa kemanusiaan dan simpati sesama peneliti dalam diri Herb tergugah ketika ia mengetahui Arkhipov sedang menderita dan karena itu membutuhkan sejumlah insulin. Gawatnya, situasi Rusia tidak mendukung pemenuhan itu. Setelah telfon sana-sini dengan jejaring dan lobinya di Australia, ia berhasil mendaratkan obat tersebut di Moskwa. 

Selepas itu, tahun 1982, Herb keliling lagi. Perjalannya dilanjutkan menuju New Delhi, kemudian Kalkuta, lalu menepi di Bangkok. Deretan pengalaman panjang mencari perdamaian di atas adalah bekal baginya. Herb kemudian mengambil waktu lagi untuk mengolah segala macam informasi dan pengalamannya itu untuk kepentingan yang akan berdampak besar di kemudian hari.

Hasil kampanye, korespondensi, dan aktivismenya itu memuncak pada tahun 1983. Waktu itu di Monash University. Meski Herb tak lagi menyandang guru besar, ia berhasil mempertahankan diskursus mengenai layak tidaknya perdamaian menjadi mata kuliah dalam ilmu politik. Herb berevolusi menjadi peace maker.

Bukan sembarangan sebab Herb berseteru argumen dengan ketua jurusan. Lalu disetujuilah mata ajar baru tersebut. “Peace: Theories, Strategies, and Movements.” Cakupan kuliah itu jelas sangat mencerminkan dan menyimpulkan dirinya secara personal, “memadukan ketertarikan Herb pada mengajar, riset, dan aktivis sekaligus”. Seakan tanpa henti, Herb bahkan mencoba mendirikan pusat kajian interdisipliner dalam studi perdamaian.

Sementara itu, di waktu sama, Herb tengah berjuang melawan depresi dan sejumlah penyakit yang mulai bersarang ditubuhnya. Namun, mengajar studi perdamaian membalas Herb dengan kepuasaan batin yang begitu banyak.

Setelahnya, konsistensinya pada gagasan dunia yang semakin damai, mulai berbuah manis. ANU akhirnya memiliki Peace Research Center yang Herb nahkodai sendiri sebagai dewan penasehat selama 1984 hingga 1985. Di tahun terakhir itu, Herb kembali berlari. Mengejar apa yang perlu ia tuntaskan sebagai seorang akademisi sekaligus manusia yang punya nurani. Ia menyusur London, Paris, dan Portugal demi mempelajari beraneka rupa pusat studi dan riset perdamaian. Herb menjelajah potensi kemungkinan baru bagi bidang yang sedang digelutinya.

Apakah Herb melupakan Indonesia? Tentu tidak.

Kembali Menekuni Indonesia.

Satu peristiwa tragis menimpa Herb di tahun 1977 itu. Ketika pulang dari rumahnya, sepeda dan tubuhnya terhengkang diserempet mobil berkecepatan 100 km per jam. Teman-teman Indonesia yang dimiliki Herb, terutama yang masih bekerja di pemerintahan tak lupa menyuratkan keprihatinan.

Sampai ada di antara mereka yang merasa perlu memberi keringanan pengurusan visa. Hingga waktu itu, Herb masih berstatus persona non-grata. Ia satu dari sekian peneliti asing yang dilarang memasuki Indonesia. Sulit dipercaya saat itu, Herb bisa pulih dengan cepat. Tak disangka, kejadian itu menjadi momentum persentuhan kembali Herb dengan Indonesia.

Keberangkatan Herb di tahun 1977 ke Indonesia menjadi permulaan interaksi intensif dengan pemikir-pemikir muda. Menurutnya, seringkali terjadi birokratisasi terhadap ilmu-ilmu sosial. Sehingga ia memilih berbagi pengetahuan ke pegiat LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan sejumlah lingkaran intelektual Indonesia.

Bermula dari situ dan setelahnya, setiap kali Herb singgah atau menetap selama beberapa waktu di Indonesia, ia membawa ‘oleh-oleh’ berupa buku, kliping, bertumpuk-tumpuk fotokopian tentang ide-ide perdamaian maupun pemikiran teoretis ilmu sosial-politik untuk dibagikan ke teman-teman mudanya.

Timbal balik setimpal dirasakan Herb. Hingga 1978, diskusi dan pertukaran gagasan mereka menjadi suntikan informasi yang berharga bagi kedua pihak. Di periode dua tahun itulah Herb menyusun dan menerbitkan buletin dwi bulanan bernama Indonesia News Selection untuk sidang pembaca Australia.

Di sela-sela kegiatan Herb mengunjungi berbagai negara di awal-awal tahun 1981, ia sempatkan mengunjungi Indonesia untuk (lagi-lagi) berdiskusi. Kesempatan bergabung dengan rekan-rekan Indonesianya terwujud lagi di akhir Agustus setahun berselang. Di Jakarta, Herb menjadi aktor utama konferensi perdamaian UNESCO bertema ‘New Peace Movement in the Thirld World’ untuk proyek model tatanan dunia baru atau WOMP (World Order Models Project).

Herb mengakui idenya sulit dijual. Bahkan beberapa menolaknya dengan halus, katakanlah gerakan anti-nuklir. Meki demikian Herb pantang menyerah. Seperti tidak ada kapok-kapoknya, ia tak bosan menawarkan gagasan perdamaian ke rekan Indonesianya.

Timor-Timur Akhirnya

Kecintaannya pada Indonesia membuat Herb selalu mencari jalan agar sejumlah problem bisa ditetaskan jalan keluarnya. Dalam kedatangan berikutnya pada Februari hingga April 1984, Herb mengatakan bahwa ia selalu ‘berupaya menjelajahi area baru untuk melihat hal-hal yang berkaitan dengan Indonesia’. Kasus paling jelas yang terpampang di depan mata tentu saja Timor Timur dan Papua. Terutama Timor Timur ini, yang membuat nurani Herb sering gundah.

Tiga tahun ke belakang (1980 – 1982), sebenarnya Herb sudah banyak bertemu dengan kelompok opisisi maupun penentang penguasa. Sama sekali ia tidak mendukung perjuangan Fretilin. Di samping itu ia juga menyalahkan rezim yang menyerbu Timor Timur. Perbedaan pandangan mengenai Tim-Tim membuat Herb merasa sulit mencari teman sefrekuensi ketika bicara konflik kekerasan di sana.

Buah pikiran Herb tentang Tim-Tim yang tertuang dalam tulisan-tulisan sejak 1983 menjadi bahan utama dalam konferensi di Melbourne bulan Juni 1984. Pertemuan yang bertajuk Conference on Australia and Non-alignment tersebut berupaya mengkonstruksi solusi penyelesaian alternatif bagi Indonesia dan Tim-Tim.

Patut diketahui bahwa pertemuan itu menjadi tabuhan perdana dimulainya perjalanan panjang penyelesaian sengketa kedua negara. Katakanlah referendum atau penentuan pendapat sendiri. Dalam sebuah tulisan di tahun 1986, Herb sudah mencoba mengakomodir gagasan peluang terbentuknya kesepakatan. “Is a Settlement Possible?”

Sembari mengakui bahwa masalah ini kurang mendapat perhatian di dunia internasional, Herb juga berpendapat bahwa pemerintah negaranya dan Amerika turut andil dalam 11 tahun pertempuran berdarah di Tim-Tim. Pada akhirnya, ide itu mungkin berujung harapan utopis.

Sekitaran tahun 1989, menjelang pensiun, enam bulan pertama dimanfaatkan Herb pulang ke Indonesia. Fokus diskusi dengan teman mudanya selalu mengerucut pada tatanan demokrasi dan dan pembangunan alternatif. Suatu kebetulan juga November tahun itu Tembok Berlin runtuh. 

Ketika pensiun, Herb kembali ke Australia. Hidupnya lebih rileks. Namun temannya sejak muda, Pat Walsh, memberikan Herb tempat kerja yang lebih manusiawi. Di ruang barunya, Herb tak juga mampu menghilangkan kepeduliannya atas kondisi kemanusiaan di Tim-Tim. Optimisme nya justru semakin menguat. Ia menulis dan terus meneliti, terutama mengenai ide penentuan nasib sendiri (referendum) bagi negara-negara multi-etnis seperti terjadi di Indonesia.  

Tahun 1992 kemudian menandai satu dasawarsa kunjungan pertama Herb ke Timor Timor. Selama itu pula Herb tidak berhenti menyelipkan promosi masalah tersebut di Indonesia. Bahkan setelah tragedi Pembantaian Santa Cruz pada akhir tahun sebelumnya, opsi referendum masih jauh panggang dari api.

Masa-masa itu, ketika berbicara Tim-Tim, berarti mencoba mengungkit masalah yang sifatnya sensitif. Satu sisi, campur tangan militer Indonesia di wilayah bekas jajahan Portugal itu sudah cukup lama menjadi sumber penderitaan penduduk asli. Sementara di sisi lainnya, harga diri dan kedaulatan bangsa Indonesia dipertaruhkan.

Sekelas Indonesianis senior, Ben Anderson juga sempat menyatakan ketidaksetujuan pada pilihan Herb. Termasuk Dewi Fortuna Anwar (mahasisiwa Herb sewaktu kuliah doktoral) dan cendekiawan lain masih cenderung menggaungkan integrasi Timor Timur ke Indonesia, bukan keluar dari negara kesatuan. Herb tidak bergeming.

Kemanusiaan jadi Kunci

Prosesnya demikian panjang. Lalu pada Mei 1998, Orde Baru jatuh, BJ Habibie naik memimpin Indonesia di masa Reformasi. Meski sempat menawarkan daerah otonomi, namun akhirnya ia menyetujui pelaksanaan pemungutan suara di wilayah termuda di Indonesia itu.

Pada Mei 1999, ditekenlah persetujuan yang dikenal dengan Perjanjian Tripartit. Sebuah kesepatakan tiga pihak antara Indonesia, Portugal, dan PBB. Beberapa waktu kemudian, ber dirilah UNAMET (United Nations Mission in Timor Timur) yang bertugas memantau pelaksanaan referendum.

Herb akhirnya menuju Indonesia sebagai satu dari 300 relawan independen yang bekerja mengawasi proses tersebut. Dia tiba dua pekan sebelumnya. Langsung saja ia diserbu memberikan briefing dan berbagi pemahaman kepada pengamat asing yang hadir mengenai kedua negara tersebut.

Ketika diumumkan, dan beberapa jam setelahnya, terjadi eskalasi kekerasan dan intimidasi. Hari itu, 4 September. Dari 98,6 persen penduduk, 78,5 persen menolak tawaran Habibie untuk opsi Otonomi Khusus.

Kantor UNAMET diserang. Diperparah dengan merebaknya aksi pengusiran penduduk dan pembakaran rumah-rumah mereka yang ditengarai pro-kemerdekaan dari Indonesia.

Dua hari pasca pemungutan suara, Herb tengah berbincang dengan Angus McIntrye di satu kantor LSM lokal. Tiba-tiba saja seorang laki-laki datang meminta perlindungan. Rumahnya yang dekat kantor LSM diserang milisi. Tapi ia dan seorang perempuan kerabatnya berhasil melarikan diri.

Herb dan Angus lantas pergi mengecek rumahnya. Bersamaan dengan itu datanglah satu kelompok Aitarak di rumah penyerangan. Setelah menghibur perempuan itu, Herb menggandeng tangannya dan berhadap-hadapan dengan milisi. Herb tahu ia dan Angus bisa terlibat adu fisik dan terbunuh.

Saat itulah kemarahan Herb sedang memuncak. Tak ada yang menduga, ia mampu menyemprotkan seluruh amarahnya dengan bahasa Indonesia lancar tanpa cela. Seorang asing memarahi milisi yang hendak mengancam perempuan yang pada hakikatnya juga adalah saudara mereka. Terbit rasa malu tentunya. 

Setelah kejadian itu, reputasi Herb yang barangkali dipandang sebelah mata karena rajin mengurusi Tim-Tim menjadi luluh seketika. Kemanusiaan di atas segalanya. Meski Herb mendukung solusi kemerdekaan Tim-Tim, tidak ada yang bisa dibenarkan dari sikap kelompok milisi bagi Herb. Juga tentu saja bagi teman-teman Indonesianya yang masih sulit memercayai hasil referendum.  

Sejumlah pejabat militer Indonesia dan polisi menyokong secara langsung laskar milisi pro-integrasi; dan turut berperan dalam pertumpahan darah serta kerusuhan yang terorganisir rapi dan massif. Bagian itu menjadi ikhtisar penting dalam laporan Herb mengenai situasi kekerasan pra dan pasca referendum pada 10 September 1999 di Kampus UGM. Kesimpulan itu menyuratkan pokok hasil yang sama dengan analisis para pengamat militer, sejumlah wartawan, dan pengawat asing.

***  

2 November 2001, tiga belas hari sebelum Herb berpulang, ia masih menghadiri pameran di Jakarta. Merayakan 50 tahun hadirnya para tenaga sukarelawan di Australia. Bertemu dengan kawan-kawan lamanya, intelektual cemerlang Dhaniel Dhakidae dan Parakitri T. Simbolon. Tetap saja ada yang harus selalu didiskusikan dengan mereka. Rencana-rencana ke depan untuk Indonesia dan mimpi-mimpi lainnya.

Sepanjang 80-an, Herb didera dampak berkelanjutan dari kelelahan fisik berkepanjangan. Kadang tiba-tiba drop di tengah situasi. Dalam berkegiatan, Herb sering tidak mengindahkan batas fisiknya jika sudah menekuni sesuatu. Seringkali terlibat suatu hal begitu serius dan begitu tenggelam di dalamnya. Baik secara pikiran maupun perasaan.

Di balik semua kegigihannya, ia tetaplah seorang manusia anti-hero hingga akhir hayatnya. Saya akan menutup dengan menuntaskan kalimat Arthur Kleinman di awal. Herb memang bukanlah pahlawan, “namun, ia membantu menjelaskan kepada orang lain, penyesuaian apa yang harus dilakukan bila dunia menjadi tempat yang semakin kurang adil dan membuat putus asa”.


Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.