5 Buku Terbaik: Dari Caping hingga Sejarah Tuhan

biblio-books-web1
ventureasheville.com

Sulit menentukan mana yang terbaik. Semua karya yang pernah saya baca hingga tuntas – baik fiksi maupun non-fiksi – memberikan dampak dan pengaruh. Setiap buku menajamkan pikiran pada satu sudut pandang dan melebarkan informasi. Buku-buku yang sempat mampir di tangan, tidak hanya menambah kekayaan wawasan, tapi sekaligus mengasah intelektual. Paling penting, sebuah buku yang baik, bagi saya, memberi kesadaran akan proses menjalani dan memaknai hidup.

Sebelumnya, karena saya tidak akan memasukkan karya sastra, biarkan saya mengangkat topi dan menaruh hormat yang sebesar-besarnya untuk hasil-hasil kesusastraan yang pernah saya baca selama ini. Tanpa mengurangi dampak yang juga sama besarnya ketika kita membaca sastra, saya hanya akan memilih lima buku terbaik yang sempat saya baca dari kategori bukan fiksi.  Baik, mari kita mulai.

Catatan Pinggir (Goenawan Mohamad)

Sesuai judulnya, buku ini berisi kumpulan catatan.  Jadi begini, di Majalah Tempo terdapat kolom esai satu halaman yang dimuat berkala oleh penulis yang didirikannya sejak tahun 1960-an. Judulnya sama, Catatan Pinggir. Lalu, PDAT (Pusat Data dan Analisa Tempo) kemudian menghimpun naskah tersebut dan diterbitkan menjadi buku yang berjilid-jilid. Hingga sekarang, terbitan ini ada 10 edisi.

Goenawan yang juga seorang penyair dan jurnalis senior menggunakan bahasa yang sangat khas. Sama seperti motto Tempo, ‘enak dibaca dan perlu’. Catatan Goenawan benar-benar enak dibaca. Saya pikir, GM sangat berhasil membuat sebuah informasi dan opininya tersampaikan tanpa meninggalkan aspek keindahan dalam berbahasa.

Dalam satu judul misalnya, saya akan menemukan sebuah ulasan kejadian pada saat itu, tafsiran sejarah, sastra, kritik, unsur patriotik, nasionalisme ketat, dan bahkan filsafat. Semua itu padat dalam satu halaman. Konon katanya GM perlu membolak-balik banyak buku dan mengonfirmasi banyak data dan hal sebelum menuliskannya dalam Catatan Pinggir. Makanya, kadang membaca satu judul itu terasa berat bila temanya tidak terasa akrab. Tapi, saya yakin. Setelah tahu manfaatnya, pasti bakal ketagihan.

Jujur saya akui, nuansa kebahasaan yang tergores dalam Caping (Catatan Pinggir), sedikit banyak memengaruhi tulisan-tulisan saya yang muncul di blog ketika baru mulai belajar. Saat itu barangkali karena lagi suka-sukanya dengan Caping, saya beli hampir semua edisinya secara bertahap. Saya selalu pesan dua edisi. Kemudian setelah selesai, saya pesan lagi dua. Begitu seterusnya. Kecuali edisi dua dan tiga yang stoknya saat itu selalu kosong.

Ada saat ketika uang saya menipis. Saya coba minta ke Ibu. Bolehkah saya dihadiahkan buku sebagai kado ulang tahun? Gak boleh katanya. Padahal bukunya sudah saya pesan dan tinggal ditransfer. Terpaksa rogeh kocek sendiri lagi. Hehe.

Baca juga: Pappaseng ri Matoa, Sebuah Pesan untuk Menjadi Indonesia

Tuesdays With Morrie (Mitch Albom)

Tanpa saya sadari, buku ini seperti nasehat-nasehat agama tentang pentingnya mengingat mati. Morrie, seorang profesor sosiologi di Amerika. Suatu waktu, di tengah bergairahnya kehidupan akademis yang ia geluti, ia terserang penyakit syaraf langka. Sakit yang menyerangnya persis sama dengan yang menimpa Stephen Hawking: ALS. Seorang fisikawan yang ternama karena mempopulerkan teori Black Hole (lubang hitam).

Ketika dokter akhirnya memvonis hidupnya tinggal beberapa bulan, ia  memilih menghadapi saat-saat kematian itu dengan tegar dan pikiran yang jernih. “setiap kita percaya bahwa kematian akan datang. Tapi kita tidak percaya bahwa kematian bisa datang lebih cepat.” Morrie seperti orang yang beruntung bisa menyadari dan meyakini sejak awal. Dia percaya dengan kematian dan ia juga siap menerimanya bila itu datang lebih cepat sebelum masa tuanya tiba.

Akhirnya, dari balik tempat tidur, ia memberikan kuliah khusus pada mantan mahasiswanya, Mitch Albom. Setiap Selasa, Morrie memberikan kuliah tentang bagaimana pandangannya terhadap kehidupan. Juga bagaimana siasatnya menghadapi kematian yang semakian dekat?

Kalau teman bertanya mengapa kuliah? Mengapa harus belajar lagi? Morrie berkata, “sekali kita belajar tentang kematian, maka kita juga belajar tentang kehidupan.”

Membaca dialog-dialog Morrie dan Mitch membuat saya beberakali terhenyak dan tertegun. Terselip satu dua narasi yang menginspirasi dan menyadarkan saya akan posisi manusia di dunia ini yang hanya sebentar. Sehingga Morrie menekankan pentingnya segala sesuatu yang sifatnya lama dan kekal, keluarga misalnya. Kata Morrie lagi, “saling mencintai, atau mati.”

Baca juga: Kuliah Terakhir Morrie

The Geography of Bliss (Eric Weiner)

Menurut saya, tidak ada yang lebih membahagiakan daripada berkenala dan mengintip tempat-tempat asing melalui buku, mendapatkan informasi berharga di setiap halamannya, menemukan kesejukan di tiap sudut pandangnya, dan tertawa pada hampir setiap halamannya. Karya Eric satu ini memuat semua hal di atas.

Eric berkeliling di beberapa kota di dunia yang menurut hasil riset (World Data Happiness) paling bahagia (blissfully) se-jagat raya. Apa yang membuat masing-masing kota bahagia? Apa defenisi bahagia menurut mereka? Ternyata, setiap tempat memunculkan jawaban berbeda. Namun ada satu penyataan ‘kebahagiaan’ yang diperolehnya dari seorang akademisi Bhutan, Karma Ura, dan itu berhasil merubah pola pikir Eric, “tidak ada yang namanya kebahagiaan pribadi. Kebahagiaan seratus persen bersifat relasional.”

Saya tergugah oleh sikap Eric yang merubah sudut pandangnya tentang bahagia. Bukan lagi the way of United States, tapi juga bahagia cara India, Moldova, hingga Islandia. Semua itu merubahnya menjadi sosok yang lebih baik. Mengutip Leo Tolstoy, dia akhirnya menemukan banyak jalan untuk mendapatkan kebahagiaan. “Menari selagi bisa” kata penyair W.H. Auden.

Kalau penyanyi dangdut tanah air mampu mendendangkan, “sakitnya tuh di sini” sambil menunjuk ke jantung. Ya barangkali, dengan menekuni buku ini selama beberapa waktu, kita juga bakal tahu kalau “bahagia itu juga letaknya di sini”

Titik Nol (Agustinus Wibowo)

Buku ini sejatinya tulisan perjalanan atau namun dirangkai apik dalam satu karya yang benar-benar komplit. Melalui tulisan-tulisannya. Agustinus yang lahir besar di satu kota kecil di Jawa, berangkat menuju daratan China demi pendidikan yang lebih baik.

Setelah berhak menuliskan gelar mentereng di belakang namanya, entah mengapa kata ‘pulang’ tidak lagi menjadi menarik. Lewat sebuah perjalanan menaiki kereta yang panjang, ia memulai sebuah perjalanan panjang melintasi negeri-negeri Asia yang jauh. Tidak tanggung-tanggung, petualangannya melewati bahaya demi bahaya mencapai lima tahun berikutnya. Sungguh bukan waktu yang sebentar bagi pelancong berbatas waktu.

Melalui Titik Nol, ia mengetahkan panorama travel journal yang begitu berbeda dari yang sudah-sudah. Kenekatan, keberanian, dan kepolosannya mengantarkannya mencapai interaksi maksimal dari sebuah tempat. Agustinus, sekali lagi telah berhasil mengajak pembaca merasakan getir sekaligus bahagia dari kata “jauh”.

Lalu, sebuah surat yang menyatakan ibunya sakit tak terperi memanggilnya pulang. “Pulang” akhirnya menjadi pelengkap paling canggih dari kata “jauh”. Lebih dari itu, Agustinus mungkin tidak pernah benar-benar mengerti makna “pulang” bila belum merasakan yang “jauh”.

“Hingga akhirnya setelah mengelana begitu jauh, si musafir pulang. Bersujud di ranjang ibunya. Dan justru dari ibunya yang tidak pernah ke mana-mana, dia menemukan satu demi satu makna lembaran yang selama ini terabaikan” –Titik Nol-

Baca juga: Menempuh Jauh dan Melangkah Pulang

Sejarah Tuhan (Karen Armstrong)

Siapkan nafas panjang-panjang jika membaca buku ini. Karena menyiapkan narasi-narasi panjang dan padat. Dipenuhi tahun, catatan kaki, dan istilah-istilah asing. Logika dan jalan cerita mengalir terus tanpa henti. Sebuah kisah pencarian, penemuan, dan keterkaitan dari tiga agama besar di dunia: Islam, Yahudi, dan Katolik serta Protestan. Perjuangan menemukan agama itu terangkai dalam waktu empat ribu tahun lamanya. Ditulis oleh Karen Armstrong, mantan biarawati salah satu ordo Katolik.

Karen rajin menulis tentang masalah teologi, termasuk menulis biografi Muhammad The Prophet. Ia percaya semua ajaran agama menularkan kasih sayang. Sehingga, salah satu buku belakangan yang ia tulis berjudul “Compassion”, yang berarti welas asih atau kasih sayang. Belakangan, dari bukunya itu ia mentransformasikan Tuhan dalam “Charter for Compassion”. Sebuah langkah tawaran menerapkan ajaran universal Tuhan bagi kota-kota di seluruh dunia, yakni kasih sayang dan perdamaian

Bila kebiasaan Anda membaca satu halaman per hari, maka butuh hampir dua tahun menyelesaikan buku ini hingga tuntas. Tanpa perlu panjang lebar, inilah salah satu buku yang ditulis berdasarkan pemahaman lengkap dan panjang atas ajaran-ajaran agama samawi. Silahkan dibaca, tapi jangan sampai lupa waktu.


7 thoughts on “5 Buku Terbaik: Dari Caping hingga Sejarah Tuhan

  1. Tebakan saya tidak meleset, Caping akan masuk dalam 5 buku terbaik versi Mujahid. Tapi yang bikin kurang ngerti kenapa Geography of Bliss masuk di antaranya.

    Liked by 1 person

    1. haha. eh, bagus itu ternyata bung. tentang pencarian kebahagiaan. Dulu memang sempat saya abaikan.haha. Padahal kocak dan banyak informasinya. Perjalanan Eric ada lanjutannya. Setelah itu dia menulis The Geography of Genius, dan The Geography of Faith. sangat menghibur. Pesanki via Mizan Store.

      Like

      1. oh begitu haha. dua kalimi pindah bung. Di Maccini. Terus sekarang di Antang Raya. Nanti saya kirimkan nomor WhatsApp nya. Supaya langsung pesan. haha.

        Like

      2. Wah makin jauh dari pusat aktivitas saya kalo di makassar. Bisa tuh kalo ada nomor wa nya. Heheh. Sapa tau mau disuruh repot rekomwndasikan buku keren

        Like

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.