Ajari Saya Memasak

vlcsnap-2015-09-09-18h23m15s429
Ai Hashimoto dan bento buatannya sendiri (Litte Forest)

Jika seseorang bertanya padaku, “hal apa yang belum sempat kamu lakukan?” Saya akan menjawab dengan begitu banyak hal. Mungkin seperti kebanyakan orang. Kita semua ingin melakukan hal-hal mulia. Nyatanya, hingga hari ini impian itu belum tercapai. Buat sekolah gratis bagi anak-anak tidak mampu,  mendirikan rumah baca anak-anak di sekitaran rumah, atau bahkan menaikkan haji orang tua.

Oke, itu jangka panjang. Kali ini, biarkan saya menjawab dengan satu perihal sederhana. Sebab ternyata, hal ini begitu krusial, menghabiskan energi bertahun-tahun lamanya. Saya ingin belajar memasak.

Sejarahnya begini. Dari kecil hingga lepas SMP, seribu persen saya bergantung pada masakan buatan Ibu. Kebetulan di rumah kami, bergiliran sepupu dan kerabat tinggal. Ada laki-laki dan perempuan. Mereka semua pintar memasak. Saya juga heran kenapa. Tapi yang sering membantu Ibu memasak tentu saja sepupu perempuan. Maka, sejak masih SD, secara otomatis hilanglah kesempatan bergulat di dapur. Rekor paling hebat, bagian saya adalah beli minyak tanah.

Periode selanjutnya ada peningkatan. Sedikit kemajuan. Ketika masa-masa SMA, ibu sering menunjuk saya jadi chef bagi adik di rumah. Adik ada tiga orang. Waktu itu satu di SMP dan dua lagi masih SD. Bangun pagi lepas shalat subuh, langsung siap-siap bikin nasi goreng. Tiga biji cabai panjang, dua siung bawang merah, satu siung bawang putih, dan garam. Saya tidak akan pernah melupakan rumus itu: warisan Ibu. Mungkin karena tidak punya bakat alami, rumus berhenti sampai di situ. Tidak ada perkembangan, dan saya juga mulai bosan. The end.

Masuk kuliah, saya jadi sering makan di luar. Lalu dapur sakral itu kembali sepenuhnya ke tangan Ibu Ibu dan sepupu. Saya terpaksa dipensiun-dinikan dari dapur. Padahal sebenarnya ingin sekali saya membantu Ibu memasak. Belajar bagaimana mengolah bahan-bahan masakan dan bumbu jadi satu. Saya menengok dapur kala malam saja. Bikin kopi, rebus mi instan, dan lagi-lagi disuruh beli gas melon tiga kilogram.

Periode berikutnya, waktu saya ke Fakfak, Papua Barat jadi relawan pengajar selama satu tahun. Di sana, saya diangkat anak piara oleh Esten Bahba. Beliau Kepala Kampung Bahbadan, sekaligus tokoh adat marga Bahba. Ibu piara bernama Mama Yeri, yang berarti Ibu dari Yermias, anak pertamanya. Namun sering dipanggil Yeri. Bapak piara, mama piara, Yeri, dan Jeper, adiknya Yeri, semua jago masak.

Bagi masyarakat di sana, dapur adalah denyut kehidupan keluarga dalam satu rumah. Tiap waktu makan, mereka berkumpul di depan tungku yang masih menyala dan berbunyi gemerutuk. Sambil makan, disitulah interaksi banyak terjadi. Utamanya bila malam tiba.

Tungku itu diletakkan di tengah-tengah dapur. Jika api sudah mengecil, bilah kayu itu disorongkan lagi atau ambil lagi kayu baru. Agar suasana tetap hangat di tengah dinginnya malam. Sebab, setelah makan mereka tidak perlu repot-repot beranjak. Dapur juga berfungsi sebagai kamar tidur. Biasanya api langsung dimatikan dan digantikan lampu minyak. Satu dua kalipan (anyaman pandan hutan) dihamparkan, selimut dikeluarkan, dan semuanya siap terlelap.

Lagi-lagi, karena keadaan, saya jadi tidak bersemangat belajar memasak. Bumbu yang ada begitu sederhana, biji pala (asam pala) dan garam. Tidak ada bumbu instan lain. Dulu pakai masako pun saya sering gagal, duh, pengen nangis rasanya. Masak juga harus menggunakan kayu. Sementara paling canggih, saya hanya pernah pakai kompor parafin.

Di sini, saya ingin berterima kasih ke Jeper, adik piara yang begitu peduli. Tanpa dia, mungkin dulu saya sudah sering kelaparan kalau pulang dari sekolah. Jadi, mereka semua: bapak, mama, dan dua adik piara yang masih kecil mulai meninggalkan rumah pukul 8 atau 9 pagi. Mereka berangkat menuju kebun yang terletak di dalam hutan.

Bertanam keladi (umbi hutan), cabai, tembakau, buah merah, pisang tanduk, dan lain-lain. Nanti mereka balik sebelum jingga menghilang di ufuk. Begitu setiap hari. Di sana malah lebih gila lagi cara masaknya. Pakai bambu. Kalau sudah siang, mereka rebus keladi, masak air, rebus ikan kali, atau rebus perasan buah merah, semua-semuanya pakai bambu.

Pertanyaannya. Bagaimana cara saya makan siang? (hihi) Mama Yeri sudah menginstruksikan kalau pulang sekolah, Jeper tidak boleh langsung menyusul ke kebun. Tapi tinggal dulu memasak untuk tuang guru (sapaan untuk bapak guru). Di sini, saya sering merasa sedih selalu merepotkan Jeper yang masih duduk di kelas lima SD.

Tiap hari, saya memulangkan anak-anak pukul dua belas siang. Saya sendiri kadang pulang ke rumah ketika pukul satu. Saat itulah Jeper berperang di dapur. Ketika pulang, makanan sudah tersedia di bawah tungku, masih panas-panasnya. “tuang guru, koret nawangge” saya hafal sekali teriakannya. Dalam bahasa Suku Iha, itu berarti, “mari makan.”

Selama setahun makan di rumah, makanan yang paling enak itu lahir dari tangan Mama Yeri, mama piara. Meski masakanya sederhana, tapi lezat. Saya pernah disajikan sayur pepaya muda yang di parut. Sekilas nampaknya rasanya akan biasa-biasa saja. Tapi setelah masuk di lidah dan bercampur dengan liur. Kemudian digoreng kesana kemari di dalam mulut, muncullah kenikmatannya. Ajaib. Saya pernah tanya ke Mama, kalau itu rahasianya dari bumbu. Ia pandai meracik asam pala dan bumbu-bumbu lokal lain. Semua masakan, apakah itu ikan, daging, atau sayur, bahan utamanya memang buah Pala. Selebihnya adalah kreativitas dan kepekaan terhadap rasa.

Lalu, yang bikin lemas itu kalau mereka tidak pulang dalam waktu tiga empat hari dan menginap di rumah kebun. “tuang guru, kitong ada mo bermalam di ruma kebun. Nanti Jeper sama bapa ade (adik ipar) masak baru kasi makan tuang guru” kata Mama Yeri. Kalau sudah begitu, saya tidak bisa makan masakan spesial mama.

Episode sedih selanjutnya ialah ketika dua tahun belakangan ini, Ibu menetap sementara di Padang, Sumatera Barat. Sekali lagi, kesempatan belajar memasak itu hilang. Sebelum berangkat, ia pernah menawari saya belajar masak. Namun, apa daya, kaki saya terlalu berat mengangkat pisau. Saya dianggap terlalu pemalas mengikuti aktivitasnya di dapur dari pagi hingga jelang siang.

Dalam pandangan awam saya, dapur itu seperti ruangan tempat kegiatan multi-tasking terjadi dengan intens. Memotong sayur, memotong bawang, rebus air, tumis kangkung dan segala macam hal terjadi secara bersamaan. Itu membuat saya pusing kalau melihat dapur. Secara otomatis itu menurunkan nafsu belajar memasak.

Meski begitu, sejalan berlalunya waktu, keinginan saya untuk bisa masak sendiri juga belum padam. Satu kali, keluhan ini pernah saya sampaikan ke salah satu teman. Ia punya warung makan kecil yang semua menu adalah hasil eksperimennya sendiri. Lantas dia bilang begini, “oh gampang, datang saja ke warung kalau karyawanku sudah pulang. Di dapur ada bahan-bahan yang bisa kamu racik sesukamu. Oh untuk awal, kita mulai tumis kangkung dulu.” Waktu itu, saran bantuannya begitu menyihir dan menenangkan. Saya menyesal menyia-nyiakan kesempatan itu karena sekarang ia pindah ke kota lain.

Barangkali, saya memang anti-tesa dari karakter Mikage dalam novel “Kithcen” nya Banana Yoshimoto. “Aku tak bisa tidur di tempat lain selain dapur.” Tokoh itu menjadikan dapur sebagai tempa sakral. Konon, ibu-ibu di Jepang pada umumnya juga begitu. Baginya, dapur menjadi satu-satunya tempat di mana ia tak merasa kesepian. Ia jatuh cinta dengan dapur. Tempat ia dikelilingi panci bekas pakai dan sisa ceceran sayur, ditemani langit malam berbintang di jendela.

Keseruan masak-memasak juga saya saksikan dalam film Little Forest. Bagaimana orang Jepang yang tinggal di desa memperlakukan bahan makanan dengan sangat bijaksana. Apakah itu dari hasil kebun sendiri atau dari hutan. Pola hidup itu memberikan pengaruh besar pada jenis makanan yang terus berganti tiap musim berubah. Meski saya tidak bisa memasak, sungguh mata saya berbinar menyaksikan Ai Hashimoto menghidupkan dapurnya.

Begitulah cerita saya. Semoga saya punya waktu dan kesempatan lagi belajar memasak. Amiin. Nah, adakah yang mau berbaik hati mengajarkan saya? Hehe…

#15HariMenulis


7 thoughts on “Ajari Saya Memasak

  1. saya waktu masih tinggal sama orang tua juga ndak pernah ke dapur. sebagai laki2 satu-satunya (selain bapak), saya dapat previlege dilayani. termasuk urusan masak-memasak.

    tapi setelah menikah saya baru mulai belajar masak. sederhana saja, masak nasi, masak sayur dan mengolah ikan.

    yah Alhamdulillah sekarang saya bisa masak sendiri, termasuk masak ikan pallumara misalnya. dan menurut saya, rasanya lumayan! hahaha

    Liked by 1 person

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.