Tanah Kelahiran, Riwayatmu

150619-tanzania-burundi-refugees-image-04
Anak-anak pengungsi di Mekere, Tanzania (Photo: Kate Holt)

If you believe you’re a citizen of the world, you’re a citizen of nowhere. Jika kau percaya dirimu seorang warga global, maka kau bukan penduduk dari satu negara manapun. Kalimat ini dilontarkan Theresa May, Perdana Menteri Inggris dengan maksud menyindir “orang-orang global”.

Apakah mereka seperti karakter yang diciptakan Dostoyevsky dalam The Brothers Karamazov? Mungkin saja. Kisah ini mengabarkan si tokoh semakin mencintai kemanusia secara luas. Cintanya pada manusia sebagai pribadi menjadi semakin berkurang. Efeknya, ia menjadi tidak peka dengan hubungan interpersonal orang per orang. Kemudian perlahan ia menghilangkan kewajiban mengasihi yang seharusnya ia tunaikan pada kerabat-kerabat dekat.

Apa yang dikhawatirkan Theresa May beralasan. Global Citizen “orang-orang global” mungkin saja akan beralih kontraprodukif dengan mengabaikan kewajiban dan moral pada teman-teman sebangsanya. Pada tanah tumpah darahnya.

Mereka, “orang-orang global” yang merasa tidak terikat dengan aturan manapun. Mereka yang sibuk merentangkannya dunianya yang tanpa sekat. Merasa tidak punya kepentingan dan ikatan batin pada sebuah tempat di masa lalu. Di mana dahulu mereka pertama kali keluar melihat dunia: Tanah Kelahiran.

Sesulit itukah rasa memiliki?

Sementara di belahan bumi lain, ada orang-orang yang terusir dari kampung halamannya. Bukan hanya terpaksa pindah, tapi tanah tempat mereka lahir dan besar juga porak poranda. Laporan UNHCR menyebutkan, di tahun 2016, setiap 20 menit, 20 orang terpaksa melarikan diri dari tanah kelahirannya. Terkhusus di Suriah, setiap 6 dari 10 penduduknya mengungsi karena krisis keamanan. Hingga hari ini, terdapat hampir 66 juga pengungsi dunia. Lebih dari 51 persen berusia di bawah 18 tahun. Mereka menghindari persekusi (perburuan), menderita konflik tak berkesudahan, mengalami kekerasan dan perampasan hak hidup merdeka di tanah sendiri.

Mengutip Antonio Gueterres, Sekjend PBB yang menggantikan Ban Ki Moon, perlindungan terhadap pengungsi adalah tanggung jawab kolektif bukan hanya dari negera tetangga mereka, tapi dari seluruh komunitas international. Kita berdoa, semoga mereka tetap kuat di tanah manapun mereka datangi. Sebagaimana ungkapan seorang Prancis di abad 12, ia berkata “Orang yang mendapatkan negerinya menyenangkan adalah pemula yang masih mentah. Orang yang mendapatkan setiap negeri merupakan negerinya, ia sudah jadi orang kuat.”

***

Bagiku, tanah kelahiran adalah tempat pulang. Tempat-tempat lain hanyalah persinggahan. Tanah lahir itu tempat kembali ketika menuntaskan satu perjalanan panjang. Meski tidak semua orang bisa kembali, sebagian besar kita semua memiliki ikatan batin dengan tanah kelahiran. Lalu kemudian, memimpikan satu tujuan: pulang, ke bumi tempat adat istiadat dijunjung.

Apakah kawan mengingat lagu Ibu Sud tentang kerinduannya pada tanah kelahiran? Ya, judulnya “Tanah Air”. Tembang ini sungguh layak kita persembahkan bagi diaspora Indonesia yang terserak di sejumlah negara di dunia. Mereka yang bekerja atau belajar di negeri orang. Namun selalu menyimpan keinginan kuat kembali ke tanah air, tempat kelahiran.

Jangankan mereka yang berada di sisi lain dunia, bila sedang tidak berada di kota kelahiran, Makassar, saya kadang rindu pulang. Apalagi menjelang hari raya begini. Momen berkumpulnya sanak saudara di rumah. Teman-teman masa kecil dan tetangga-tetangga yang merantau di kota lain turut datang. Memeriahkan perayaan “pulang” ke rumah masing-masing. Meski hanya sekali setahun, tapi lebih dari cukup mengobati kerinduan.

Bertemu secara fisik memang tidak ada duanya. Sangat berbeda jika hanya lewat seperangkat aplikasi teks dan video. Percakapan intens dan sentuhan minor yang tulus akan melambari perasaan. Berjabat tangan dan meraih pundak untuk dipeluk misalnya. Semua itu membuat suasana menjadi nyaman dan penuh kehangatan berbincang satu sama lain. Tentunya, itu semua bisa terjadi di tanah kelahiran.

Makassar, dulu Ujung Pandang, adalah tanah tempat saya lahir dan bertumbuh remaja, dan memasuki usia dewasa. Di sini, saya bersepekat dengan Ibu Sud, bahwa “Tanah Air” adalah semua ingatan kolektif yang tidak akan terlupakan, meski pergi jauh, dan selalu dicintai dan dihargai.

Saya punya secarik foto di album keluarga. Foto itu menampilkan saya masih bayi digendong tante. Ceritanya tante dan sepupu yang berjumlah lima orang yang semua mengenakan mukena putih-putih. Sepertinya mereka lepas mengerjakan shalat. Sajadah masih terhampar rapi. Mereka melakukannya berjamaah di ruang tengah rumah nenek di Bone. Setelah itu, seorang tante mengambil saya dan meletakkannya di depan kedua belah tangan. Mereka berfoto dalam posisi paling rapi. Karena masih analog, foto harus benar-benar bagus. Hasil fotonya memang benar-benar bagus.

Dari foto itu, saya juga merasa punya pertalian darah kuat dengan sebuah kampung di Bone sana, tempat Ibu dan ayah dilahirkan. Tempat di mana saya, sebagai keponakan dan cucu, ditimang dan digendong dengan rasa bahagia membuncah dan setangkup syukur dari keluarga besar.

Di Makassar, saya akan selalu ingat, meski samar-samar, bagaimana pertama kali diajarkan pakai sarung, dipaksa ke masjid belajar mengaji, dan aroma burasa’ yang dimasak dua hari sebelum lebaran.

Juga saya akan selalu ingat jernihnya langit dan pemandangan perbatasan Gowa dan Makassar (sekarang tugu Badik). Dari belakang rumah, kami biasa menembus jalan sawah hingga ujung perumahan, barulah kami bisa melihat dengan lebih jelas. Saya ingat kalau sore saat hujan reda dan awan gelap tersibak lalu berubah cerah seketika. Lanskap di baliknya begitu mengundang. Puncak Gunung Lompobattang kelihatan jelas. Sekeliling puncaknya yang berupa kawah kecil disaput kabut-kabut tipis. Bau udara yang menyeruak begitu segar.

Waktu itu, antara akhir 90 dan awal dua ribuan. Belum ada jalan tembus. Belum terbayangkan akan ada jalan Hertasning Baru, Jalan Aroepala, ataupun Tun Abdul Razak. Kami masih bisa melihat satu dua hutan-hutan kecil yang membelah luasnya areal persawahan dari kejauhan. Semua masih hijau. Saat itu, kami yang masih kanak-kanak selalu merasakan kuatnya aroma petualangan yang tersembunyi dari sana. Sesekali kami mencoba menembus masuk ke lahan-lahan sawah yang paling jauh. Atau berjalan hingga bendungan yang terletak jauh di hilir kanal.

Hari ini, bersyukurlah kita yang masih bisa merasakan udara kampung halaman. Masih bisa menyaksikan cahaya malam yang berpendar di langit kota kelahiran disertai seluruh anggota keluarga. Tidak menjadi masalah pengakuan sebagai global citizen atau bukan. Bagaimanapun, kita semua adalah anak kandung dari the only one of homeland. Kampung: satu-satunya tanah kelahiran yang kita punya masing-masing. Agama mengajarkan kita untuk mencintai tanah air, karena itu bagian dari iman.

Nah, mari kita ‘pulang’ sejenak. Pulang ke tanah kelahiran. Kembali ke tempat kita belajar sujud pertama kali pada-Nya. Pulang ke tanah kelahiran yang mengingatkan lagi masa berhimpun kerabat, keluarga dan tetangga yang senantiasa mengakrabi kehidupan.

Laporan UNHCR. Global Trends “Forced Displacement in 2016”. 2016.
Laporan Pew Research. Key Facts about The World Refugees. 2016

#15HariMenulis
Kunjungi tulisan lainnya:
1. Hasymi Arif: Mamuju dan Kenangan Masa Kecil
2. Atrasina Adlina: Tips Agar Merasa Tak Sendirian, Jika Tak Mudik

 


Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.